Ketua LBH BRI Tanggapi Pembahasan Silatirahmi Penegak Hukum Dengan PTP N IV

374
ketua
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Bela Rakyat Indonesia, Lomoan Panjaitan, SH. saat bertemu awak media di salah satu tempat bersantai dalam menanggapi penerapan Tindak Pidana Ringan.
Labuhanbatu-Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bela Rakyat Indonesia Lomoan Panjaitan, SH, turut menanggapi pokok bahasan dalam silaturahmi antara penegak hukum dan pihak PTP N IV, terkait penerapan UU no.39/2014 untuk menyiasati tindak pidana ringan yang kurang maximal dalam penerapan hukum efek jera bagi pelaku.

Menurut Ketua LBH Bala Rakyat Indonesia (BRI) Lomoan Panjaitan, SH, Senin (01/08/2022) dirinya sangat mengapresiasi dan setuju bila Pelaku pencuri sawit diterapkan UU no.39/2014 untuk menyiasati tindak pidana ringan yang kurang maximal dalam penerapan hukum efek jera bagi pelaku, namun bagaimana dengan Petani Sawit (Non Perusahaan Perkebunan) ? Perlu juga di kaji. Jangan sampai terkesan menciderai asas “aquality before the law” yakni Salah satu prinsip atau asas penting dari suatu negara, Hukum ialah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

“Jangan dibedakan pelayanan atau penegakan hukum antara Petani dengan pelayanan terhadap Perusahaan Pemilik perkebunan, bila tetap dilaksanakan saya Khawatir para pencuri sawit di Labuhanbatu Raya ini akan fokus sasarannya ke Lahan Pertanian yang Non Perusahaan atau Perkebunan. Karena sangat logis untuk dimungkinkan mereka melihat ada penerapan hukum yang tebang pilih dan resiko lebih ringan yakni hanya Tipiring (untuk lahan pertanian kelapa sawit milik masyarakat biasa) dan cenderung hanya akan menghindari mencuri di perusahaan perkebunan saja,” ungkap Ketua LBH BRI itu

Kemudian dijelasknnya maka jauh lebih tepat bila Perma Tindak Pidana Ringan, yang dirubah. Minimal perubahan dilakukan khusus terhadap Perkebunan dan pertanian baik Perusahaan BUMN/SWASTA maupun Lahan Pertanian/Perkebunan milik warga, kembali ke Mahkamah Agung untuk merubah atau mengevaluasi Peraturannya yang dinilai Petani kurang tepat dalam upaya Negara melindungi Produksi.

“Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 tidak hanya memberikan keringanan kepada hakim agung dalam bekerja, namun juga menjadikan pencurian dibawah 2,5 juta tidak dapat ditahan,” tambahnya Ketua LBH BRI lagi

Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2,5 Juta, Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

Mengenai denda, pada Pasal 3 disebutkan bahwa tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Perma ini memberikan kemudahan kepada terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasminah, pencurian piring yang sampai kasasi. “Jadi tidak usah lagi gonjang-ganjing mengenai kasus anak yang mencuri sendal dan nenek yang mencuri piring sampai berlarut-larut, tetapi satu hari bisa selesai.” tutup Ketua LBH BRI itu

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini